Jumat, 29 Maret 2024
BerandadeHumanitiOpiniKitaPeran Media Massa dalam Strategi Pembentukan Citra Politik

Peran Media Massa dalam Strategi Pembentukan Citra Politik

Oleh : Agus Eot *)

Dunia politik tak ubahnya seperti arena bertarung yang sangat membutuhkan strategi jitu dalam pemenangannya. Tidak hanya sekedar politik uang yang mampu berperan sebagai second God dalam memenangkan hati rakyat, saat ini rakyat semakin kritis dan sebagian besar tak lagi tertarik pada politik uang, meskipun tak dapat dipungkiri bahwa masih ada sebagian partai politik yang menggunakan politik uang sebagai strategi pemenangannya.

Menurut survey yang dilakukan oleh Pew Research Center for the People and the Press terhadap sekitar 200 konsultan politik di seluruh dunia pada tahun 1997 – 1998, ditemukan fakta bahwa kualitas dari pesan-pesan kampanye politik sebuah partai politik dan strategi pencitraan para pemimpin partai politik merupakan faktor utama dalam menentukan kemenangan dalam pemilihan umum, sehingga selain faktor biaya yang mutlak dipersiapkan untuk menggerakkan mesin politik, pencitraan partai politik dan pemimpin partai politik merupakan kunci penentu kemenangan.

Melalui pendekatan program kerja sebuah partai politik kepada pemilihnya hanya akan dimengerti oleh publik yang “melek” politik.

Bagi publik yang “buta” politik, mereka akan lebih suka melihat citra para pemimpin partai politik. Pengertian citra berkaitan erat dengan suatu penilaian, tanggapan, opini, kepercayaan publik, asosiasi, lembaga dan juga simbol simbol tertentu terhadap bentuk pelayanan, nama perusahaan dan merek suatu produk barang atau jasa yang diberikan oleh publik sebagai khalayak sasaran (audience).

Dengan demikian, tanggapan dan penilaian publik merupakan unsur penting dalam melakukan penelitian tentang Citra. Citra (image) adalah seperangkat keyakinan, ide dan kesan seseorang terhadap suatu obyek tertentu. Sikap dan tindakan seseorang terhadap obyek tersebut akan ditentukan oleh citra obyek yang menampilkan kondisi yang paling baik.

Memasarkan partai politik tak ubahnya seperti memasarkan sebuah produk barang atau jasa kepada target pasarnya.

Pada dasarnya, jika diibaratkan berdagang, target pasar untuk partai politik adalah para pemilih (voters), jika kita melakukan segmentasi pemilih yang menjadi target pasar partai politik, maka akan terdapat 4 jenis pemilih potensial yang ada di Indonesia, yang pertama adalah pemilih ideologis (ideologist voters), yang kedua adalah pemilih tradisional (traditional voters), yang ketiga adalah pemilih rasional (rational voters) yang terbagi dalam pemilih intelektual dan non partisan, sedangkan yang keempat adalah pemilih yang masih berubah-ubah (swing voters).

Ideologist Voters dan Traditional Voters menguasai sekitar 40% dari market share, sedangkan Rational Voters dan Swing Voters menguasai sekitar 60% dari market share (Priosoedarsono, 2005).

Jika kita berbicara mengenai strategi pencitraan, tak dapat dilepaskan dari peran media massa dalam kapasitasnya sebagai media (wadah) untuk memberitakan kepada publik serta memberi citra dari aktivitas para aktor politik yang diberitakan dan menjadi konsumsi media massa.

Disini peranan “Framing” maupun “Agenda Setting” menjadi penting, karena agenda media (dalam hal ini media memilih berita-berita yang akan menjadiheadline dalam pemberitaannya) merupakan agenda publik, artinya adalah publik disodorkan headline berita yang memang telah diagendakan oleh media untuk menjadi berita utama (headline).

Media massa mempunyai peranan penting dalam mensosialisasikan nilai-nilai tertentu kepada masyarakat.

Hal tersebut tampak dari fungsi yang dijalankan oleh media massa yaitu sebagai alat untuk mengawasi lingkungan (surveillance of the environment), menghubungkan bagian-bagian dalam masyarakat (correlation of the parts of society), mengirimkan warisan sosial (transmission of the social heritage), dan memberikan hiburan (entertainment) – (Littlejohn, 1999).

Peristiwa politik selalu menarik perhatian media massa sebagai bahan liputan. Hal ini terjadi karena dua faktor yang saling berkaitan.

Yang pertama adalah karena saat ini politik berada di era mediasi (politics in the age of mediation), yaitu media massa sebagai wadah yang dapat melakukan proses mediasi antara kepentingan publik dan politik, hampir mustahil jika kehidupan politik dipisahkan dari media massa.

Para aktor politik yang melakukan strategi pencitraan senantiasa berusaha menarik perhatian wartawan agar aktivitas politiknya memperoleh liputan dari media.

Yang kedua adalah peristiwa politik dalam bentuk tingkah laku dan pernyataan para aktor politik lazimnya selalu mempunyai nilai berita sekalipun peristiwa politik itu bersifat rutin belaka, misalnya kegiatan rapat kerja partai atau pertemuan seorang tokoh politik dengan para pendukungnya.

Apalagi jika peristiwa politik itu bersifat luar biasa seperti pemilihan umum. Alhasil, liputan politik senantiasa menghiasi berbagai media setiap harinya.

McNair (1995), menyatakan bahwa dalam era mediasi tersebut, fungsi media massa dalam komunikasi politik bisa menjadi penyampai (transmitters) pesan-pesan politik dari pihak-pihak di luar dirinya, sekaligus menjadi pengirim (senders) pesan-pesan politik yang dibuat (constructed) oleh para jurnalis kepada publik.

Jadi bagi para aktor politik, media massa dipakai untuk menyampaikan pesan-pesan politik mereka kepada khayalak maupun sebagai media untuk melakukan proses strategi pencitraan.

Sementara untuk para wartawan, media massa adalah wadah untuk memproduksi pesan-pesan politik, karena peristiwa-peristiwa politik itu memiliki nilai berita (news value).

Sebagian dampak politik terhadap liputan media dilihat dari isi berita atau informasinya, tepatnya pesan-pesan politiknya.

Oleh karena itu bagaimana pesan-pesan politik tersebut disusun agar dapat memperoleh citra positif didalam media?

Di negara yang menganut sistem politik yang demokratis, maka pesan yang dikirim haruslah di Construct terlebih dahulu.

Yang melakukan Construct adalah jurnalis sedangkan yang menerima pesan adalah khalayaknya.

Sementara itu media kerjanya tidak saja melaporkan kepada khalayaknya secara netral, atau tidak memihak, akan tetapi juga harus mampu menunjukkan sikap impartiality-nya.

Disamping itu ia juga harus menjaga agar semua berita yang disiarkan akan tetap menjaga sifat akurasinya terhadap semua event atau peristiwa yang ada disekitarnya sebagai Political Reality, yang memperhatikan 3 hal, yaitu Realitas Politik yang Objective, yaitu berita politik yang diambil dari Event Politik seperti apa adanya.

Realitas Politik yang Subjective, yaitu berita politik yang diambil dari Event Politik seperti apa yang dilihat dari kacamata aktor politik maupun partai politik. Dan Realitas Politik yang Konstruktif, yaitu berita politik yang diambil dari Event Politik yang diliput oleh media massa.

Menurut Blumler dan Gurevitch dalam studinya mengenai The Political Effects of Mass Communications (1986) menjelaskan bahwa kepedulian publik tentang komunikasi massa pada dasarnya terfokus pada efek potensial dari isi media massa kepada publiknya / khalayaknya.

Oleh karena itu ada semacam asumsi bahwa media massa mempunyai pengaruh yang potensial kepada khalayaknya, dan karena itu pula orang sering mengatakan bahwa media massa itu sangatlah powerfull.

Kekuatan media massa untuk mempengaruhi khalayaknya sangat berdampak keras dan dapat menjadikan sebuah partai politik maupun aktor politik yang ada didalamnya mempunyai citra negatif atau positif.

Berangkat dari pemikiran tersebut diatas, para aktor politik yang akan melakukan proses pencitraan terhadap dirinya maupun pencitraan terhadap partai politik yang diusungkan hendaknya dapat memanfaatkan media massa yang dapat memberikan pengaruh besar kepada publik.

Pesan-pesan politik yang akan dihadirkan oleh para aktor politik tersebut biasanya disusun terlebih dahulu sehingga sesuai dengan target pencitraan yang diinginkan melalui media massa, hal tersebut akan memberikan efek yang lebih besar jika isi media lebih disesuaikan dengan karakteristik masing-masing media yang berfungsi sebagai transmitter.

Disamping karakteristik media, diperlukan juga karakteristik dari khalayak pemirsanya.

Hal ini penting karena segmentasi khalayak akan memperjelas besar-kecilnya pengaruh yang diharapkan, dan segmentasi khalayak perlu dilakukan karena mereka punya preferensi pilihan medianya sendiri-sendiri.

Sementara itu ada faktor lain yang ikut menentukan tingkat pengaruh politik terhadap media massa yang digunakan, yaitu tampilan dari aktor politik dalam media tersebut dan tampilan ini biasanya melekat juga pada diri aktor politik tersebut, misalnya latar belakang pendidikan, karir organisasinya atau orientasi politiknya.

Untuk mengukur tingkat exposure dari isi media yang dipilih oleh masing-masing khalayak, maka kembali yang dilihat adalah tidak semata-mata dari pesan yang disampaikan melalui media tersebut, tetapi juga harus dilihat dari pesan-pesan lain yang sama sekali tidak bernuansa politik, misalnya acara hiburan, dan pengaruh tersebut sebagian besar adalah karena faktor kebiasaan menonton yang dimiliki oleh publik, bukan karena faktor pilihan publik atas media.

Dimensi lain yang juga bisa diangkat sebagai suatu asumsi bahwa pengaruh politik atas media massa yang digunakan adalah bisa dilihat juga dari perspektif lain dan masing-masing punya masalah dalam alat ukur yang digunakan, misalnya mengenai policy information, issue priorities, images of politicians, qualities as leaders, attitude to the various parties strengths and weaknesses, voting preferences.

Faktor lain yang selalu digunakan sebagai ukuran besar kecilnya pengaruh politik atas media massa yang digunakan biasanya dilihat dari perpektif identitas khalayaknya, misalnya faktor demografis, seperti gender, umur, pendidikan, sosial-ekonomi-status, faktor loyalitas kepada partai, motivasi mengikuti kampanye politik, dan kefanatikan dalam menggunakan media politik dan lain sebagainya.

Liputan politik juga cenderung lebih rumit ketimbang reportase bidang lain. Pada satu pihak liputan politik memiliki dimensi pembentukan pendapat umum (public opinion), baik yang diharapkan oleh para politisi maupun oleh para jurnalis.

Oleh sebab itu, berita politik bisa lebih daripada sekedar reportase peristiwa politik, tetapi merupakan hasil konstruksi realitas politik untuk kepentingan opini publik tertentu.

Dalam komunikasi politik, aspek pembentukan opini ini justru menjadi tujuan utama Karena hal ini akan mempengaruhi pencapaian-pencapaian pencitraan politik para aktor politik tersebut.

Dalam melaporkan atau mengkonstruksikan realitas pemberitaan politik, lazimnya media massa memanfaatkan tiga komponen, yaitu pemakaian simbol-simbol politik (language of politics), strategi pengemasan pesan (framing strategies) dan kesediaan media memberi tempat (agenda setting function).

Seorang tokoh politik hendaknya dapat memberikan pemberitaan-pemberitaan politik yang aktual dan kritis yang dapat memberikan kesadaran pada masyarakat tentang pentingnya sistem politik yang lebih demokratis. Banyak aspek dari media massa yang membuatnya penting dalam kehidupan politik.

Pertama adalah daya jangkaunya (coverage) yang sangat luas dalam menyebar-luaskan informasi politik yang mampu melewati batas wilayah (geografis), kelompok umur, jenis kelamin dan sosial-ekonomi-status (demografis) dan perbedaan paham dan orientasi (psikografis).

Dengan begitu sebuah masalah politik yang dimediasikan dapat menjadi perhatian bersama di berbagai tempat dan kalangan.

Kedua, kemampuan dari media massa yang dapat melipat-gandakan pesan (multiplier of message) yang sangat luar biasa. Suatu peristiwa politik bisa dilipat-gandakan pemberitaannya sesuai dengan kebutuhannya melalui jumlah eksemplar surat kabar, tabloid, dan majalah yang tercetak, dan juga bisa diulang-ulang penyiarannya di media massa elektronik sesuai dengan kebutuhan.

Alhasil pelipat-gandaan ini menimbulkan dampak yang sangat besar di tengah khalayak.

Ketiga, setiap media massa mempunyai kemampuan untuk bisa mewacanakan sebuah peristiwa politik sesuai dengan pandangan masing-masing media yang memberitakan.

Kebijakan redaksional dalam menentukan agenda setting yang dimilikinya menentukan penampilan dari isi sebuah peristiwa politik yang diberitakan.

Justru karena kemampuan inilah maka media massa banyak diincar oleh pihak-pihak yang ingin menggunakannya untuk kepentingan politik tertentu dan sebaliknya, akan dijauhi oleh pihak yang tak menyukainya.

Keempat, tentu saja dengan fungsi agenda setting yang dimilikinya, media massa memiliki kesempatan yang sangat luas (bahkan hampir tanpa batas) untuk memberitakan sebuah peristiwa politik.

Sesuai dengan kebijakannya masing-masing, setiap peristiwa politik dapat disiarkan atau tidak disiarkan.

Yang jelas belum tentu berita politik yang menjadi agenda media merupakan agenda publik juga.

Kelima, pemberitaan peristiwa politik oleh suatu media massa lazimnya berkaitan dengan media massa lainnya sehingga membentuk rantai informasi (media as links in others chains).

Hal ini akan menambah kekuatan tersendiri pada penyebaran informasi, khususnya informasi politik dan dampaknya terhadap publik.

Dengan adanya aspek inilah maka peranan media dalam membentuk opini publik akan semakin kuat.

Atas dasar kenyataan inilah, wajar jika kemudian publik sering menyoroti pemberitaan-pemberitaan politik, apalagi pada saat-saat krusial dalam kehidupan berpolitik di Indonesia seperti pada masa kampanye pemilu, saat terjadi krisis politik, konflik antar para pendukung partai, deklarasi partai politik baru, maupun isu-isu mengenai partai politik yang saat ini menjadi statusquo.

Untuk itulah maka momentum yang demikian dapat dimanfaatkan oleh para aktor politik agar mulai melakukan strategi pencitraan, karena di era mediasi seperti saat ini media and money are the second God…

Media Massa dan Pembentukan Citra Politik

Jika kita berbicara tentang komunikasi politik tentunya kita akan berpikir bahwa komunikasi tersebut adalah proses penyampaian pesan yang berupa pesan politik dan melibatkan oleh aktor-aktor politik atau koimunikasi politik bisa dikatakan sebagai proses komunikasi yang berkaitan dengan masalah kekuasaan.

Komunikasi politik yang selama ini terjadi masyarakat sangat tentunya tidak terlepas dari jangkauan media massa yang hadir di hadapan massyarakat.

Keberadaan media massa sangatlah penting dimasyarakat karena media massa di ibaratkan sebagi alat yang membentuk apa dan bagaimana yang terjadi dalam masyarakat.

Menurut pendapat Denis McQuail media massa memiliki arti penting yakni sebagi sumber dominan yang bukan hanya bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif.

Media juga menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normative yang dibaurkan dengan berita atau hiburan (Nurudin, hal: 35,2007).

Peranan Media Massa

Dalam tatanan dunia politik media seolah sudah tidak asing lagi dimata masyarakat. Dengan adanya informasi politik yang disajikan melalui media masyarakat menjadi tahu mengenai realitas dan perkembangan isu politik yang berkembang yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat.

Melalui media juga kita sebagai masyarakat dapat menyuarakan opini dan pandangan kita tentang situasi politik yang sedang terjadi.

Sebagai persuasif komunikasi, media massa sering kali membuat dan mengukuhkan nilai-nilai yang kita yakini sebelumnya.

Kaitannya dengan pembahasan seseorang yang tidak memihak pada suatu partai politik akan berubah aspirasi politiknya karena terpengaruh pemberitaan di media massa.

Media massa juga mampu menggerakkan seseorang untuk berbuat sesuatu hal atau tidak berbuat hal yang lain, misalnya dalam media iklan.

Iklan sendiri merupakan media yang dijadikan salah satu pilihan untuk melakukan persuasi terhadap audiensnya. Kekuatan audiovisualnya sangat dinilai mampu untuk menyajikan pesan-pesan yang demonstratif.

Selain itu kreasi yang di sajikan iklan tersebut merupakan teknik rekayasa dengan suasana seperti realitas yang terjadi sesungguhnya, seperti contoh iklan yang di tampilkan oleh Prabowo Sugianto yang menyajikan tayangan iklan yang terfokus pada kehidupan sosial-ekonomi bangsa Indonesia yang tersaji dan dikemas secara menarik dan memiliki daya pikat tersendiri.

Oleh karena itu terpengaruh atau tidaknya masyarakat itu tergantung dari pada sejauh mana iklan tersebut mampu mengaplikasikan komunikasi secara persuasif dalam menentukan minat dan keinginan dari masyarakat sebagai sasaran iklan (Sumartono, hal:61,2002).

Menurut Mc Nair, Iklan politik yang sering kita lihat dalam tayangan televisi pada dasarnya menggunakan berbagai teknik.

Pertama yaitu teknik primitif yang penyajiannya nampak kaku dan dibuat-buat. Kedua teknik talking heads, dalam teknik ini dirancang untuk menyoroti isu dan menyampaikan citra bahwa kandidat calon legislatif mampu untuk menangani isu tersebut dan melakukan pekerjaanya nanti.

Dalam teknik talking heads sering kali ditampilkan dalam media yang terlihat dari para kandidat calon legislative dalam menyampaikan visi dan misinya sebagai anggota legislative, seperti di Indonesia kandidat pasangan capres dan cawapres SBY-JK yang dalam iklan politiknya menyampaikan motonya “Bersama Kita Bisa” dan Pasangan Megawati dan Hasyim Muzadi dengan rencana pembentukan kabinetnya “Komisi Lima”.

Berikutnya adalah iklan negatif, yaitu menyerang kebijakan kandidat atau partai lawan. Di Amerika Serikat teknik ini sangat banyak dilakukan.

Kemudian teknik cinema-verite yaitu teknik teknik yang memberikan teknik situasi informal yang alami, misalnya dengan menayangkan kandidat yang sedang berbicara akrab dan spontan terhadap rakyat kecil atau sisi kehidupan keluarganya atau lingkungan pekerjaanya seperti contoh iklan Prabowo Sugianto yang menampilkan kehidupan rakyat jelata.

Selanjutnya ada juga teknik penyampaian iklan yang dilakukan dengan kesaksian. Kesaksian yang dimaksud adalah kesaksian baik dari kalangan orang biasa, maupun dari tokoh yang dikagumi, tokoh politik, ilmuwan olahragawan maupun dari kalangan artis.

Di negara kita baru-baru ini para caleg melakukan aksi ini untuk menarik simpatik masyarakat seperti contoh pada pemilihan cagub dan cawagub yang baru saja terjadi di ibukota Jakarta.

Berbagai iklan politik yang ditayangkan melalui media massa semata-mata di gunakan untuk membentuk suatu citra politik seorang calon legislatif.

Realitas yang ditayamgkan melalui media massa tersebut merupakan suatu realitas yang sudah diseleksi dan direncanakan untuk memperoleh suatu citra positif dalam penilaian masyarakat.

Adapun yang sering terjadi dalam masyarakat, mereka memperoleh informasi tersebut berdasarkan realitas yang di tayangkan di dalam media massa sehingga tayangan tersebut menjadikan suatu citra tentang politik yang terjadi (Mulyana, hal: 97,2001).

Dalam komunikasi massa pembentukan citra politik ini tersaji sesuai dengan teori peluru/ hypodermic needle yang mana ketika audiens melihat suatu realitas yang disajikan melalui media massa maka pengaruhnya akan berdampak kuat pada diri seseorang yang tengah menontonnya (Severin dkk, hal :126, 2007).

Terkait dengan buku karya Brian Mc Nair “An Introduction The Political Communication” media berfungsi sebagai saluran komunikasi poliik yang berasal dari luar organisasi serta sebagai komunikator pesan yang diinstruksikan oleh jurnalis.

Iklan Politik juga didefinisikan sebagai “paid placement of organitational messages in the media” yakni sebagai tempat untuk dari pesan organisasi di dalam suatu media. Selin itu iklan juga disebut sebagai purchase and the the use of advertising space, paid for commercial rates, in order to transmit political messages to mass audience” (Mc Nair, hal: 97, 1999).

Dari fenomena yang Penulis amati dapat menyimpulkan bahwa media massa dapat membentuk citra politik seorang aktor politik dengan persuasi yang dilakukan melalui tayangan yang disajikan media massa terhadap publik.

Dengan menemukan penunjang nilai- nilai pribadi, menemukan model perilaku sehingga meningkatkan pemahaman tentang diri sendiri.

Berfungsi sebagai integrasi dan interaksi sosial

Dengan memperoleh pengetahuan tentang keadaan orang lain, akan menimbulkan rasa empati dalam lingkungan sosial, juga mengidentifikasikan diri dengan orang lain dan meningkatkan rasa kemampuan.

Media juga dapat dijadikan sebagai bahan percakapan dalam berinteraksi sosial, memperluas pergaulan dan membantu menjalankan peran sosial dalam masyarakat dan memungkinkan seseorang untuk menghubungi sanak keluarga, teman dan masyarakat.

Berfungsi sebagai hiburan

Antara lain media yang menyediakan hiburan untuk melepaskan diri dari rutinitas kegiatan, bersantai untuk memperoleh kenikmatan jiwa dan estetis, menghilangkan kepenatan, mengisi waktu, meluapkan emosi.

Josep Devito (1997) mengungkapkan, bahwa salah satu fungsi media yang banyak dilupakan adalah fungsi membius (narcotizing).

Hal ini dilihat, jika media menyajikan suatu informasi, penerima akan percaya bahwa tindakan tertentu telah diambil.

Salah satu contoh fungsi yang membius adalah kehadiran telenovela di televisi yang ditayangkan secara bersambung setiap hari, dengan tema perselingkuhan, kekerasan dan berbagai tema sterotipe, yang membius khalayak untuk terus mengikuti tayangan tersebut.
Katz Blumer dan Gurevitch (1974) mengemukakan bahwa fungsi-fungsi tersebut, belum cukup menggambarkan keseluruhan jajaran fungsi-fungsi yang mungkin ada.

Oleh sebab itu para peneliti mencoba mengumpulkan sebanyak mungkin fungsi-fungsi media dalam masyarakat.

Penggambaran mengenai fungsi-fungsi media, erat kaitannya dengan penggunaan media bagi individu dan masyarakat, seperti tentang apa yang mendorong individu memfaatkan media dan apakah media massa dapat memenuhi kebutuhan individu.

Katz, Blumer dan Gurevitch (1974) menggunakan pendekatan uses and gratification, yang meneliti kebutuhan dari sudut psikologi dan sosial yang menimbulkan harapan tertentu dari dan mengakibatkan pola terpaan media yang berlainan diantara individu.
Ada beberapa asumsi dasar yang dikemukakannya melalui pendekatan uses and gratification yaitu :

1. Khalayak dianggap aktif, artinya sebagian penting dari penggunaan media massa diasumsikan akan mempunyai tujuan atau akan memberi manfaat.
2. Dalam proses komunikasi massa banyak inisiatif untuk mengaitkan pemuasan kebutuhan dengan pemilihan media terletak pada anggota khalayak.
3. Media massa harus bersaing dengan sumber-sumber lain untuk memuaskan kebutuhannya. Kebutuhan yang dipenuhi media hanyalah bagian dari rentangan kebutuhan manusia yang lebih luas. Bagaimana kebutuhan ini terpenuhi melalui konsumsi media amat tergantung kepada perilaku khlayak bersangkutan.
4. Banyak tujuan dalam memilih media massa yang disimpulkan dari data yang diberikan oleh anggota khalayak; artinya orang dianggap cukup mengerti untuk melaporkan kepentingan dan motif pada situasi tertentu.
5. Penilaian tentang arti kultural dari media massa harus ditangguhkan sebelum diteliti lebih dahulu orientasi khalayak. (Blumer dan Katz, 1974).

Rubin (1993) mengemukakan bahwa ada 2 tipe orientasi berbeda dari khalayak dalam menggunakan media, yaitu media sebagai “ritualized” penggunaan media berdasarkan kebiasaan (habit) dari “instrument” yaitu penggunaan media yang dilakukan berdasarkan pemilihan secara selektif.

Katz, Gurevit dan Hazz ] (1973) menyatakan bahwa khalayak dalam menggunakan media adalah dengan alasan untuk pemenuhan kebutuhan (motivasi) yaitu :

1. Motif kognitif yaitu menekankan pada adanya kebutuhan manusia akan informasi dan kebutuhan untuk mencapai tingkat emosional tertentu.
2. Motif afektif menekankan pada aspek perasaan yang berhubungan dengan estetika, kesenangan dan pengalaman emosional.
3. Integrasi pribadi yaitu kebutuhan yang berhubungan dengan kredibilitas, keyakinan dan stabilitas serta status secara individu.
4. Integrasi sosial yaitu kebutuhan yang berhubungan dengan hubungan keluarga, sahabat dan dunia luar.
5. Pelarian, yang berhubungan dengan keinginan untuk menghindarkan diri dari tekanan, meredakan ketgangan dan keinginan untuk mengalihkan perhatian.

Penutup

Dengan demikian terdapat beberapa fungsi media massa menurut para ahli di atas akan tetapi hal yang akan di bahas dalam pembahsan ini yaitu fungsi media menurut Mac Quail dan kawan-kawan (1970) menyimpulkan fungsi media bagi individu sebagai informasi, identitas pribadi, integrasi dan interaksi sosial, dan sebagai hiburan.

Di mana seseorang menggunakan fungsi media massa sebagai sarana untuk mencari berita tentang perisriwa dan kondisi yang berkaitan dengan lingkungan terdekat, masyarakat dan dunia yang dapat meningkatkan pemahaman mengenai dri sendiri mempunyai perasaan empati serta dapat memperluas pngetahuan dan pergaulan dengan demikian seseorang akan merasa terhibur dengan adanya fungsi media massa tersebut.

*) Penulis salah satu jurnalis, tinggal di Kota Bandung

Anda bisa mengakses berita di Google News

JANGAN LEWATKAN

TERPOPULER

TERKINI